Pada tahun 250 H [ini sekaligus ralat, pada artikel terdahulu kami tuliskan 205 H, pen], Imam Bukhari rahimahullah datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits.
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.”
Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengar penuturan hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul ‘masalah’ di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengar hadits di majelisnya berpindah ke majelis Imam Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua.
Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (seputar keyakinan al-Qur’an kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut maka pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi’ah), Jahmi, dan penganut Murji’ah di Khurasan ini mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin ‘Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh Bukhari berpendapat bahwa al-Qur’an yang dilafalkan adalah makhluk.
Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur’an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur’an; apakah ia makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Bukhari berpaling dan tidak mau menjawab sampai 3 kali pertanyaan.
Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab, “al-Qur’an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid’ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk.”
Dalam riwayat lain, Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Jawaban itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala kabar yang tidak jelas ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, beliau pun berkata, “al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur’an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi’/ahli bid’ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma’il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Saking kerasnya permasalahan ini sampai-sampai Imam adz-Dzuhli menyatakan, “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.”
Mendengar hal itu, Imam Muslim mengambil selendangnya dan meletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang dikenakannya. Lalu beliau berdiri di hadapan orang-orang meninggalkannya dan dikirimkan olehnya semua catatan riwayat yang ditulisnya dari Imam adz-Dzuhli di atas punggung seekor onta.
Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan yang terjadi diantara kedua imam ini. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya.
Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur’an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur’an yang kulafalkan adalah makhluk.”
Imam Bukhari menjawab, “Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; Siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang menuduh aku berpendapat al-Qur’an yang kulafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan perbuatan hamba adalah makhluk.”
[diadaptasi dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari, hal. 658-659]
Pelajaran Yang Bisa Dipetik
Kisah di atas mengandung banyak pelajaran berharga bagi kita kaum muslimin, terlebih lagi bagi para penimba ilmu dan para da’i. Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah pentingnya setiap muslim untuk mempelajari aqidah Islam dengan sebaik-baiknya agar terhindar dari berbagai penyimpangan pemahaman dan kesesatan.
Selain itu, kisah di atas juga memberikan pelajaran kepada kita untuk menjadi seorang penimba ilmu dan da’i yang ikhlas berjuang di jalan Allah. Bukan menjadi orang yang memburu popularitas atau beramal karena ingin mendapatkan sanjungan.
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita untuk berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan berita. Karena bisa jadi berita yang kita terima tidak benar atau tidak sempurna sehingga akan menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang mendengarnya. Apalagi jika berita itu terkait dengan orang yang memiliki kedudukan di masyarakat, baik dari kalangan ulama ataupun penguasa.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita -terutama para da’i dan tokoh masyarakat- untuk menjaga lisan dan cermat dalam berkata-kata. Terlebih lagi jika kita berada di depan orang banyak, karena penggunaan kata-kata yang kurang tepat atau mengandung kesamaran [multi tafsir] bisa menimbulkan kekacauan dan bahkan permusuhan.
Kisah ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bahwasanya terkadang permasalahan atau perselisihan yang timbul diantara sesama guru atau da’i itu timbul dan semakin bertambah parah akibat ulah sebagian murid-murid mereka.
Kisah ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwasanya pembicaraan jarh wa ta’dil (kritikan dan pujian terhadap pribadi atau kelompok) bukanlah perkara sepele. Tidak semua orang boleh berbicara tentangnya dengan seenaknya, bahkan tidak setiap ulama ahli dan mapan di bidang ini.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada para penimba ilmu dan para da’i untuk membersihkan hati mereka dari sifat hasad atau dengki. Karena sebagian permasalahan yang terjadi diantara mereka diantara penyebabnya adalah sifat yang tercela ini.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap husnuzhan/berprasangka baik kepada saudara kita. Karena perasaan su’uzhan/buruk sangka yang tidak dilandasi dengan fakta-fakta yang kuat adalah termasuk perbuatan dosa.
Selain itu, kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Memang meluruskan kesalahan orang lain adalah termasuk nasehat, akan tetapi hendaknya kita tidak mencari-cari kesalahannya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah semestinya kita lebih sibuk memperbaiki kesalahan diri kita sendiri, yang bisa jadi kesalahan kita itu tidak kecil dan tidak sedikit. Allahul musta’aan.
Kisah ini juga menunjukkan kepada kita, bahwasanya seorang da’i harus siap menghadapi berbagai rintangan dan cobaan di tengah-tengah perjalanan dakwahnya. Seorang da’i harus senantiasa sabar dan tawakal kepada Allah dalam menyikapi berbagai masalah yang dijumpainya. Begitu pula halnya seorang penimba ilmu.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita mengenai kebesaran hati dan kelapangan dada para ulama rabbani dalam menyikapi fitnah yang menimpa mereka serta menempuh sikap yang bijak demi menjaga keutuhan umat. Mereka sama sekali tidak menyimpan ambisi-ambisi politik atau mengejar target-target duniawi.
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang besarnya bahaya kebid’ahan; yaitu ajaran-ajaran baru yang tidak ada tuntunannya di dalam agama Islam. Bid’ah ini tidak hanya berkutat dalam masalah amalan, tetapi ia juga terjadi dalam masalah aqidah atau keyakinan. Bahkan, diantara keyakinan yang bid’ah itu ada yang bisa menyebabkan kafir bagi orang yang meyakininya. Diantara keyakinan dan pemahaman sesat yang harus senantiasa kita waspadai adalah ajaran dan gerakan kaum Syi’ah/Rafidhah!
Kisah ini juga memberikan pelajaran kepada kita untuk bersikap teguh membela kebenaran walaupun harus menyelisihi banyak orang, bahkan meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki kedudukan. Sesungguhnya kebenaran itu diukur dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bukan dengan si fulan atau ‘allan.
Dan yang terakhir, kisah ini memberikan pelajaran bahwa perselisihan yang terjadi diantara sebagian ulama -dalam sebagian permasalahan- adalah realita -memprihatinkan- yang tidak bisa kita pungkiri. Sebagai penuntut ilmu kita dituntut untuk bersikap bijak dan menempatkan diri sebagaimana mestinya. Hendaklah kita mengerti apa tugas dan kewajiban kita. Tidak semestinya kita memperkeruh suasana.
Faidah Tambahan
Ketika membahas tentang biografi sekilas Imam Bukhari di dalam kitabnya Jarh wa Ta’dil Abdurrahman bin Abi Hatim rahimahullah berkata:
Ayahku -Abu Hatim- dan Abu Zur’ah mendengar hadits darinya. Kemudian mereka berdua meninggalkan haditsnya, yaitu ketika Muhammad bin Yahya an-Naisaburi mengirimkan surat kepada mereka berdua yang menceritakan bahwasanya di daerah mereka -Naisabur- dia menampakkan pemahaman bahwa lafalnya dengan al-Qur’an adalah makhluk.”
[lihat al-Jarh wa at-Ta’dil VII/191].
Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah membantah perkataan di atas dalam kitabnya Siyar A’lam an-Nubala’. Beliau berkata:
Apabila mereka berdua [Abu Hatim dan Abu Zur’ah] meninggalkan haditsnya, ataupun tidak meninggalkannya, maka Bukhari tetap saja seorang yang tsiqah/terpercaya, kredibel, dan riwayatnya dijadikan hujjah di seluruh penjuru dunia.”
[lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil ‘inda al-Hafizh adz-Dzahabi II/633]
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
Setiap orang yang telah terbukti kuat keadilan/kredibilitasnya maka tidak boleh diterima tajrih/celaan kepada dirinya dari siapa pun hingga perkara itu diterangkan kepadanya sampai pada suatu keadaan yang tidak ada lagi kemungkinan lain kecuali memang harus menjatuhkan jarh/celaan kepadanya.